Pasal 7 Ayat (6) dan Ayat (6a)

Masih segar diingatan kita tentunya tentang rencana pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi pertanggal 1 April 2012, memicu penolakan keras dari sebagian masyarakat yang di refleksikan dengan adanya demonstrasi mahasiswa hampir di seluruh wilayah Republik Indonesia. 

Selanjutnya  timbul pertentangan yang keras dari partai politik baik dari partai politik oposisi maupun internal partai koalisi. Sebagaimana kita ketahui,  dalam memutuskan rencana pemerintah untuk menaikkan BBM bersubsidi dalam sidang paripurna di DPR  yang diselenggarakan pada tanggal  30 Maret 2012 berjalan sangat alot dan keras, dengan agenda “Perlukah ada kenaikan BBM bersubsidi” pertanggal 1 April 2012 bergeser menjadi “Perlukah ada amandemen pasal 7 ayat 6” yang berbunyi : 
  • Pasal 7 ayat 6 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 :” Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan.”
  • Pasal 7 ayat 6 a R-APBNP 2012 : “Dalam hal harga rata-rata minyak Indonesia (Indonesia Crude Oil Price/ICP) dalam kurun waktu berjalan mengalami kenaikan atau penurunan rata-rata sebesar 15 persen dalam 6 bulan terakhir dari harga minyak internasional yang diasumsikan dalam APBN-P Tahun Anggaran 2012, pemerintah berwenang untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukung.”

Keputusan rapat paripurna DPR mengenai penambahan Pasal 7 ayat (6a) dalam UU APBNP menuai kontroversi. Selain karena penolakan Fraksi PDIP dan Fraksi Gerindra DPR, juga karena berbagai elemen masyarakat menganggap pasal itu tidak konstitusional (inkonstitusional).

Salah seorang ahli hukum tata negara yang menolak ditambahkannya Pasal 7 ayat (6a) UU APBNP adalah Yusril Ihza Mahendra. Mantan Menteri Kehakiman ini berencana mengajukan uji formil dan materil ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena pasal itu dinilai inkonstitusional.

 
Saya sendiri beranggapan pasal 7 ayat (6a) ini disisipkan semata-mata merupakan kepentingan politik saja, Coba ditelaah baik-baik, bukan partai oposisi saja yang menolak rencana pemerintah ini, bahkan dari partai partai koalisi pun ada yang ikut menolak. Hanya saja kalau benar mereka (partai) menolak kenaikan harga BBM bersubsidi, kenapa mesti menyisipkan pasal & ayat(6a) ini? yang jelas-jelas memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menyesuaikan/menaikkan harga BBM kapan pun sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam pasal 7 ayat (6a) tersebut.

Sungguh dagelan yang tidak lucu telah di pertontonkan para wakil rakyat ini. Sebagai masyarakat, saya mengharapkan para wakil rakyat ini jujur dalam bersikap, jangan seolah-olah berpihak terhadap kepentingan rakyat yang padahal hanya memikirkan partai dan dirinya sendiri. Kalau menolak ya "tolak !" dengan tegas, kalau menerima ya "terima saja" jangan malu-malu, atau bahkan (menurut saya) malu-maluin.

Komentar

Postingan Populer